Disadari bahwa kebijakan tentang pencegahan dan perlindungan pekerja anak telah cukup lama di terima oleh pemerintah Indonesia, terlihat dalam UU RI No 20 tahun 1999 dan UU RI No 1 tahun 2000 berpijak pada konvensi ILO No. 138 dan No 182, mengenai pekerjaan terburuk bagi anak dan batas usia anak yang diperbolehkan bekerja.
Namun dalam realitas nya, secara kuantitas dan kualitas jumlah anak yang bekerja dan terpaksa bekerja tidaklah semakin berkurang. Dalam diskusi tentang fenomena ini di Jarak, 21 Mei 2099 yang lalu, terkuak berbagai isu yang cukup pelik, seperti.
Pertama, Pemerintah
Kedua, pandangan yang keliru tentang anak.anak dianggap “asset” ekonomi dan terutama anak perempuan seperti yang ditemukan di wilayah Indramayu. Anak perempuan akan mendatangkan rezeki bagi keluarga, tanpa memikirkan jenis pekerjaan anak, usia dan resikonya.
Ketiga, Intensifnya para makelar pencari PRT dan TKW dengan iming iming kehidupan yang lebih layak, pengalaman bekerja di luar negeri di erkotaan, dengan memberikan contoh nyata di lingkungannya semabagi pemacu
Keempat, Belum banyak contoh sukses tentang perlindungan terhadap pekerja anak dibandingkan dengan keberhasilan yang “sumir” sebagai PRT, sek komersial, pekerjaan bersiko tinggi lainnya
Kelima, pemerintah daerah tidak cukup peduli untuk melakukan pencegahan dan perlindungan terhadap pekerja anak. Terlihat nyata dari kebijakan yang belum tegas dan minimal nya alokasi APBD untuk program aksi.
Keenam, upaya advokasi oleh kalangan LSM dan juga jaringan pekerja anak, belum mampu mengugah perhatian pemerintah.
Ketujuh, semakin urgen untuk melakukan pengentasan kemiskinan segera, karena akar utama dari semakin banyaknya pekerja anak adalah kemiskinan.