Sudah lebih setengah abad, upaya untuk memperbaiki layanan pendididikan yang berkualitas dan merata di tanah air, masih jauh dari harapan. Walau di segi alokasi anggaran untuk bidang ini telah berada diatas 20 % dari APBN setiap tahun.
Berbagai isu yang menghimpit dunia pendidikan
Muatan Pasal 31 UUD 1945 dan amandemen, dengan tegas menyatakan bahwa: (1) Seluruh warga negara berhak memperoleh pendidikan. (2) Semua warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (4) Pemerintah memprioritaskan pendidikan dengan mengalokasikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk penyelenggaraan pendidikan nasional.
Berkaitan dengan pasal 31 tersebut, ternyata Pemda DKI Jakarta menjabarkan nya dengan tolak belakang, tanggung jawab pemerintah bergeser kepada masyarakat. Dimuat dengan jelas dalam Perda DKI Jakarta PERDA No 8 tahun 2006, yakni Pasal 5 (2) Warga masyarakat memberikan dukungan sumber daya pendidikan untuk kelangsungan penyelenggaraan pendidikan. Pasal 7 (4) Orangtua berkewajiban atas biaya untuk kelangsungan pendidikan anaknya sesuai kemampuan, kecuali bagi orangtua yang tidak mampu dibebaskan dari kewajiban tersebut dan menjadi tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Akibatnya jelas yang menjadi korban adalah warga didik. Menurut data Dinas Pendidikan DKI Jakarta tahun 2008, jumlah anak putus sekolah di tingkat SMA mencapai 1.253 orang. Lalu, jumlah anak putus sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mencapai 3.188 orang. Untuk tingkat sekolah dasar di
Dampak lain nya adalah dari tahun ketahun jumlah anak jalanan di DKI Jakarta dan di berbagai
Kompleknya persoalan pendidikan ini, akan semakin parah bilamana memang Pemda DKI akan mengurangi alokasi APBD untuk pendidikan “Biaya pendidikan di
Dalam Dialog Publik yang digelar oleh Plan International itu, muncul sejumlah kritisi tajam terhadap penyelenggaraan pendidikan, diantaranya; kompetensi guru, fasilitas proses pembelajaran, buku teks hingga, penentuan standar kelulusan Ujian Nasional yang demikian rendah.
Alternatif pendidikan non formal yang dijalankan melalui Paket A, B dan C juga masih tidak berjalan efektif. Adanya pandangan yang kurang positif tentang kualitas terhadap lulusan ujian persamaan melalui jalur pendidikan non formal.
Dukungan komunitas terhadap penyelenggaraan pendidikan juga masih belum jelas. Komite Sekolah dan Dewan Pendidian yang diharapkan dapat memberikan kontrol dan masukan, lebih banyak berperan sebagai alat dari Sekolah
Itulah compang camping dunia pendidikan kita, yang akan menjadi fokus garapan “Pendidikan Untuk Semua” Education for All/EFA” yang telah dicanangkan dengan enam pokok aksi yang dapat menjadi acuan dalam konteks pembangunan pendidikan di DKI Jakarta kedepan:
· Memperluas dan meningkatkan kesempatan pendidikan pada usia dini, terutama bagi mereka yang terpinggirkan.
· Memastikan bahwa pada tahun 2015 nanti, semua anak, terutama perempuan, anak-anak yang terpinggirkan dan mereka yang menjadi etnis minoritas, memiliki akses terhadap pendidikan dasar yang bermutu.
· Memastikan bahwa kebutuhan untuk belajar dari semua generasi muda maupun dewasa terpenuhi melalui terbukannya akses terhadap segala bentuk pendidikan, baik formal maupun informal.
· Meningkatkan melek huruf khususnya bagi kaum perempuan, serta meningkatkan akses pembelajaran seumur hidup bagi orang dewasa.
· Menghilangkan disparitas gender dalam akses terhadap pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005, dan mencapai kesetaraan kesempatan jender pada tahun 2015.
· Meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan, baik formal maupun informal.
Meskipun potret pendidikan demikian kusam, masih ada harapan di masa datang. Tentu saja dengan semangat kebersamaan yang konstruktif untuk melakukan perubahan.(Muchtar Bahar)